OLEH : NURMADIA SYAM
Mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
UIN Alauddin Makassar.
PEMILU 2024 digadang-gadang bakal menjadi pemilu yang berat. Momentum per lima tahun ini mungkin telah lama dinamai “pesta” demokrasi, namun sejatinya ini adalah “perang” strategi.
Bisa dipastikan setiap calon akan memiliki tim sukses. Mereka bukan sekadar sekumpulan orang dengan strategi memenangkan pemilu. Mereka juga akan menggerakkan buzzer, pasukan penyerbu di jagad media sosial.
Buzzer dirancang bergerak sesuai arahan. Meski terkesan hanya membuat kebisingan persis seperti lebah yang mendengung di telinga, agendanya jelas: membentuk opini dan mempengaruhi keputusan di bilik suara.
Rully Nashrullah, pakar sosial media, menyebutkan bahwa para pendengung ini berperan penting dalam membangun opini publik. Meski netizen adalah khalayak di dunia maya, di balik akun digital itu, mereka tetap manusia.
Karakternya pun bermacam-macam. Ada penyemangat, penyidik, penyimak, ada pula
yang gampang tersulut karena segelintir informasi. Golongan terakhir ini biasanya tidak mau repot mengecek kebenaran informasi itu karena kemasannya memang terstruktur, tampak sangat valid, dan diproduksi dengan teratur.
Golongan terakhir ini sasaran empuk para pendengung. Lalu, ada pula mereka yang berdiri di tengah. Mereka adalah pengguna internet yang tidak fanatik pada tokoh tertentu, bukan anggota partai, relatif apatis pada politik, tetapi tetap berharap bahwa pemimpin terpilih kelak adalah sosok yang amanah pada janji serta kukuh menolak korupsi.
Dalam bahasa lebih retoris, kita berharap memiliki pemimpin dan wakil rakyat yang kompeten dan berintegritas. Jika kita
belum memihak siapa-siapa, belum tahu hendak memilih siapa, apa kita hanya menjadi penonton dan tanpa sadar mengonsumsi informasi-informasi itu sambil menunggu hari pencoblosan tanpa adanya partisipasi aktif? Netral bukan berarti tidak memilih.
Kita pada akhirnya harus memilih karena golput alias golongan putih adalah tindakan pengecut. Kita ternyata bisa tetap netral sambil berpartisipasi aktif dengan cara menjadi pasukan siber untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Saat tim sukses saling serang, saat pasukan buzzer gontok-gontokan, kita bisa menjadi pihak yang meniup sempritan untuk memberi peringatan bahkan mengeluarkan mereka dari area perang layaknya wasit mengusir pemain bola yang melakukan pelanggaran.
Kita bisa berhimpun dengan para pemilik akun real di media sosial demi pemilu 2024 yang lebih bermutu. Bersama-sama menjadi relawan pengawas media sosial dalam hal pelanggaran pemilu.
Jika kita memiliki akun real, memiliki banyak follower, terlebih jika telah terverifikasi, kredibilitas ini akan memiliki pengaruh yang sangat besar untuk menumbangkan para buzzer yang sebagian besar bersembunyi di balik akun fake.
Dengan layanan pelaporan yang disediakan oleh pengelola media sosial, tombol lapor yang ditekan secara masif akan membuat pelontar hoax ini akan dinotifikasi lalu di-suspend sebagai hukuman, bahkan dihapus selamanya
Apa yang menjadi alasan besar mengapa kita mau repot-repot terlibat dalam hal ini?
Diam bukan sikap yang dianjurkan oleh jika menyangkut kemungkaran. Hoax, fitnah, adu domba, pelanggaran SARA, dan ujaran kebencian adalah contoh kemungkaran yang dzolim.
Diam menyaksikan kemungkaran sementara kita sebenarnya mampu melakukan perubahan, sejatinya adalah kemungkaran itu sendiri. Diam di depan pelaku kemungkaran sama saja melakukan kemungkaran itu sendiri.
Prinsip amar ma’ruf nahi munkar ini dipertegas Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian maka hendaklah diubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya. Dan jika masih tidak mampu maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman.”
Penulis percaya pembaca dengan keyakinan agama berbeda juga memiliki referensi yang sepakat akan pentingnya bertindak ketika melihat kemungkaran. Buktinya, Presiden Amerika terpilih, Joe Biden, mengutip hadist ini dalam kampanyenya pada tahun 2020 lalu.
Kita perlu menelaah kembali nasihat untuk diam demi menjaga ketenangan dan perdamaian jika itu terkait mendiamkan kemungkaran. Bisa jadi itu hanya muslihat para pelaku kemungkaran itu sendiri.
Ketika kita melihat postingan berisi kemungkaran, kita sebenarnya memiliki senjata untuk melawan itu. Bagi yang memiliki kemampuan menulis yang mumpuni, bersuaralah di kolom komentar dengan jawaban yang mencerahkan.
Dalam hal ini, akun media sosial bisa kita fungsikan sebagai perisai agar peluru hoax
itu terpental dan tidak memakan korban.
Jika kita memiliki kemapuan menganalisis informasi benar dan salah, akun media sosial bisa dijadikan sebagai peredam dengan cara melaporkan akun pelanggar SARA agar terhenti dari aktifitas menebar kebencian.
Bahkan, jika kita memiliki keterampilan memproduksi konten yang positif, akun media sosial akan berfungsi layaknya mobil pemadam yang mematikan api-api kebencian yang disulut para pengadu domba. Kabar baiknya, kita tidak akan sendirian.
Dalam akun resminya, Bawaslu menyampaikan upaya pengawasan jagad maya pada Pemilu 2024 akan dilakukan dengan menggandeng MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Kepolisian, Kominfo, perwakilan pemilik perusahaan media sosial seperti Facebook
dan Instagram, serta para ahli media sosial termasuk para kreator konten dan influencer untuk ikut mengawasi pemilu 2024.
Akan disediakan pula muara untuk semua laporan itu agar bisa diproses sebagai
alat bukti pelanggaran hukum yang dilakukan peserta pemilu.
Menjadi pasukan siber Bawaslu bisa jadi
akan menjadi langkah patriotik bagi kita untuk menciptakan atmosfir pemilu yang aman dan bermutu, sebab hasil dari perjuangan itu akan dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia untuk lima tahun lamanya. (*)